Berita Psikiatri: Menyeimbangkan kreatifitas dan masalah kejiwaan
Terdapat banyak pasien dengan masalah kejiwaan yang juga melakukan berbagai kegiatan kreatif, ada yang terkait hobi, namun ada pula yang melakukan aktifitas tersebut untuk pekerjaan dan kesuksesan. Beberapa pasien mampu memisahkan gejala penyakit mereka dengan kreatifitas, namun terdapat juga pasien yang menghindari terapi karena kekhawatiran bahwa pengobatan akan mengganggu perkembangan pikiran dan emosi mereka yang sangat mereka hargai. Artikel ini membahas singkat tentang hubungan kompleks antara kreatifitas dan masalah kejiwaan, kemudian membahas kondisi pengobatan dua orang pasien terkenal. Kondisi dari ahli matematika John Nash dan pengarang David Foster Wallace akan disajikan untuk menggambarkan pendekatan yang menggabungkan sudut pandang pasien dengan pengetahuan medis.
Beberapa tahun setelah hasil kerja luar biasa yang menyebabkan John Nash mendapatkan hadiah Nobel, ahli matematika ini mulai mengalami gejala-gejala skizofrenia. Saat ditanya tentang waham-wahamnya, dia menjelaskan bahwa, “Ide-ide saya tentang makhluk supranatural datang kepada saya dengan cara yang sama seperti ide-ide matematika saya. Maka saya memikirkannya dengan serius.” John Nash menghindari pengobatan psikiatri, tetapi ternyata satu-satunya hasil kerjanya yang bisa dianggap produktif, semenjak episode psikotik pertamanya, adalah hasil kerjanya selama beberapa bulan mengonsumsi trifluoperazine.
David Foster Wallace merupakan seorang pengarang yang pernah mendapatkan penghargaan MacArthur Fellow (penghargaan terhadap penduduk Amerika Serikat dengan dedikasi dan karya kreatif yang luar biasa) dan memiliki karya fiksi dan essai yang sangat dikenal pada generasinya. Wallace juga diketahui menderita depresi berulang. Pada 2007, dia menghentikan pengobatan dengan phenelzine, di antaranya karena dia menganggap obat tersebut menurunkan kemampuannya membuat novel. Tragisnya, depresinya kembali berulang, dan dia meninggal akibat bunuh diri, tanpa pernah menyelesaikan buku terakhirnya. Karena penyakitnya, kita sulit menentukan kebenaran dari pendapat John Nash dan David Wallace tentang penyakitnya, obat-obatan, dan kreatifitas mereka. Mereka percaya bahwa hal-hal tersebut berhubungan sehingga mereka membuat keputusan yang justru pada akhirnya mengakhiri karir produktifnya (dan pada kasus John Wallace, mengakibatkan kehilangan nyawa).
Hasil penelitian
Penelitian biografi selama seabad telah berhasil mencatatkan berbagai kasus gangguan kejiwaan pada individu-individu seperti Nash dan Wallace; contoh yang belum lama dituliskan adalah penelitian tentang penulis puisi Robert Lowell oleh Kay Redfield Jamison, PhD. Lowell memiliki gejala berpikir cepat, flight of ideas, dan ‘divergent thinking’ selama episode mania. Dia juga membuat bahasa baru, sehingga puisinya perlu dikoreksi selama periode eutimik.
Laporan-laporan kasus terdahulu juga telah membahas masalah yang mirip. Dokter Mogens Schou telah mendokumentasikan berbagai efek dari terapi litium pada produktifitas seni pada 24 pasien. Setengah dari subyek melaporkan adanya manfaat, namun beberapa pasien menghentikan obat karena menganggap bahwa litium mengganggu kreatifitas mereka. Dokter Schou menganggap bahwa perbedaan ini terjadi karena perbedaan jenis dan keparahan penyakit, perbedaan sensitifitas, dan ada-tidaknya kondisi di mana pasien memanfaatkan gejala mania secara produktif.
Penelitian modern dengan tes psikologis, survey populasi, dan genetik telah meninjau masalah psikiatri pada individu kreatif maupun kreatifitas pada pasien dengan masalah kejiwaan. Beberapa penelitian menemukan adanya peningkatan insidensi gangguan afektif bipolar pada individu kreatif. Beberapa lainnya juga menemukan peningkatan ciri-ciri psikologis yang terkait kreatifitas pada pasien dengan gangguan afektif bipolar.
Hubungan tersebut ditemukan pada seni rupa, literatur, musik, seni pertunjukan, bisnis, politik, agama, dan sains. Korelasi yang lebih kiat, ditemukan pada individu dengan penyakit yang lebih ringan, seperti gangguan siklotimia dab bipolar tipe II. Hal ini mungkin disebabkan karena gangguan fungsi pada mania yang berat dapat mengganggu aktifitas kreatif.
Mempelajari pasien yang masih bergejala merupakan hal yang sulit. Maka, sebagian besar penelitian meninjau ciri-ciri kreatifitas selama periode eutimik. Bukti-bukti yang mencatat hasil karya kreatif selama periode bergejala (biasanya saat kondisi hipomania) cenderung terbatas, dan biasanya bersumber dari pendapat pasien atau laporan kasus. Kemampuan memikirkan berbagai kemungkinan, produktifitas verbal yang tinggi, dan kondisi moid yabg intense atau berubah cepat dapat menghasilkan karya original. Sedangkan, ide kebesaran, energi yang besar, dan pengurangan tidur dapat juga meningkatkan produktifitas. Ambisi saat mania dan keinginan berinteraksi sosial dapat meningkatkan citra di hadapan masyarakat. Sebaliknya, Hubungan kreatifitas dengan depresi lebih sulit dipahami.
Kreatifitas berhubungan dengan ciri genetik yang mirip dengan gangguan bipolar maupun skizofrenia. Gejala terkait skizofrenia juga dapat bermanfaat bagi kreatifitas. Afek datar, apathy, dan perasaan aneh dapat bermanifestasi sebagai ide ironis yang kreatif, ide di luar aturan, pengenalan diri sendiri, dan dislokasi ruang dan waktu. Gejala psikotik juga bisa mengganggu pekerjaan kreatif. Hal ini mungkin merupakan alasan mengapa orang dengan skizofrenia cenderung memiliki aktifitas kreatif yang sifatnya sampingan saja, seperti puisi dan fotografi.
Kreatifitas merupakan kelebihan yang dapat hadir bersama risiko masalah kejiwaan. Eksplorasi terhadap seni juga dapat meningkatkan kondisi suasana hati. Ketidakpastian yang selalu ada pada pekerjaan kreatif dapat memperburuk gejala masalah kejiwaan. Rekan-rekan yang kreatif juga kadang saling mendorong untuk menyalahgunakan zat terlarang atau alkohol. Pola tidur tidak teratur dan jadwal kegiatan yang padat dapat mengganggu kestabilan kondisi kejiwaan. Gangguan mood sendiri dapat berhubungan dengan peningkatan reaktifitas: Kesuksesan dapat memicu mania, tetapi terdapat perasaan frustasi berlebihan saat tujuan gagal tercapai.
Gangguan kejiwaan memiliki hubungan yang rumit dengan kreatifitas. Beberapa gejala ringan sampai sedang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, produktifitas, dan kemampuan mengenali lingkungan, tetapi perasaan bingung, depresi, mania, perilaku bizar, dan isolasi sosial dapat menjadi penghalang. Banyak pasien jiwa menghargai kreatifitas mereka, dan beberapa pasien, seperti Nash dan Wallace, percaya bahwa kreatifitas berhubungan dengan gejala dan pengobatan psikiatri.
Pendekatan klinis
Salah satu kemampuan kreatif yang perlu digunakan dalam psikiatri adalah kemampuan berpikir dalam lebih dari satu kemungkinan pada waktu yang sama: mempertahankan sudut pandang medis sambil tetap meninjau pengalaman dan kepercayaan pasien. Hal ini tidaklah mudah: Fokus yang sempit pada gejala bisa mengacaukan kerjasama terapeutik dengan mengabaikan kekhawatiran pasien bahwa pengobatan dapat mengganggu kreatifitas, tetapi sebaliknya, penerimaan buta terhadap pandangan pasien dapat menyebabkan penilaian berlebihan terhadap kemampuan kreatif, pentingnya hal tersebut dalam kehidupan pasien, dan hubungannya dengan gejala pasien.
Banyak pasien, terutama pasien dalam episode depresi, menyadari bahwa gejala mereka mengganggu aktifitas kreatif dan mengharapkan perbaikan gejala, walaupun begitu, terdapat pula beberapa pasien yang seperti Wallace, yang mengeluhkan bahwa terapi membatasi respon emosi mereka. Pasien lain ada juga yang menyukai gejala mereka, seperti kemampuan berpikir cepat dan kemampuan membuat asosiasi yang tidak wajar. Terdapat pula sedikit pasien yang seperti Nash, yang menganggap bahwa gejala mereka memiliki sumber yang sama dengan kreatifitas mereka. Saat pasien mengenali adanya hubungan ini, sebaiknya kita meninjau kapan dan dalam kondisi apa gejala psikiatri dan pemikiran kreatif muncul, dan faktor apa saja (termasuk obat) yang dapat meningkatkan atau mengurangi kondisi tersebut. Tujuan kita adalah untuk memahami hubungan-hubungan tersebut secara lebih jelas.
Kekhawatiran pasien bahwa pengobatan akan mengganggu kreatifitas dapat membuat kita mempertimbangkan pilihan pengobatan yang mungkin akan lebih ditaati pasien. Pasien dengan gangguan afektif bipolar, misalnya, mungkin saja akan lebih nyaman dengan mood stabilizer dari golongan anticonvulsant seperti valproat atau lamotrigin daripada litium atau ECT, karena anticonvulsant memiliki efek pada kognitif yang lebih rendah (walaupun kita bisa juga mengatur dosis litium agar efeknya tidak terlalu berat). Saat pengobatan berjalan, kita bisa menanyakan perubahan kreatifitas bersama dengan perubahan gejala dan fungsi peran. Klinisi dapat menggunakan instrumen, misalnya the Inventory of Creative Activities and Achievements.
Setelah tiga kali rawat inap, John Nash akhirnya setuju untuk mengonsumsi trifluoperazine. Dia khawatir bahwa obat akan mencegahnya berpikir jernih untuk melanjutkan pekerjaannya dalam bidang matematika. Psikiaternya dapat menerima alasan tersebut sehingga Nash mendapatkan dosis rendah. Beberapa bulan kemudian, Nash kembali mengalami episode psikosis yang berat. Tidak diketahui dengan jelas apakah Nash tidak mau minum obat atau dosis yang digunakan memang terlalu rendah. Dr Peter Weiden sempat membahas terapi John Nash dalam sebuah diskusi, dan beliau menyarankan agar kekhawatiran pasien dipertimbangkan dengan serius sambil tetap berusaha meyakinkan pasien bahwa fungsi intelektualnya justru lebih tinggi jika preokupasinya rendah. Kita juga dapat membuat tujuan terapi untuk mencegah rawat inap. Kita juga bisa mendiskusikan bukti klinis dengan pasien bahwa terapi dapat mengurangi risiko relaps. Diharapkan, dengan begitu, pasien akan menerima terapi. Pasien seperti Nash mungkin juga akan mendapatkan manfaat jika dia mau memonitor sendiri gejala dan kreatifitasnya dengan rating scale, sehingga penyesuaian dosis dapat didasarkan data dan bukannya kekhawatiran pasien atau asumsi klinisi.
Kondisi dan kerjasama terapeutik David Foster Wallace saat pasien tersebut berhenti mengonsumsi phenelzine tidaklah diketahui, dan tidak jelas apakah dia mendapatkan psikoterapi. Jika kita meninjau kembali kasus ini, mungkin akan lebih baik jika klinisi melihat kondisinya secara rutin; menerima saran dari istrinya; mendiskusikan risiko dan manfaat yang dapat terjadi jikaterapi dihentikan dan tanda-tanda awal relapse; melakukan tapering pengobatan dengan dipantau pasien, keluarga, dan klinisi; dan mengintervensi segera jika depresi kembali berulang. Beberapa bulan setelah menghentikan phenelzine, Wallace dirawat inap karena depresi berat. Antidepresan yang lain telah dicoba untuk diberikan, namun kekhawatirannya terhadap efek sampibg kembali membuatnya menghentikan pengobatan. Setelah ECT tidak berespon, Wallace diminta kembali menggunakan phenelzine. Walaupun pasien sempat terlihat membaik, Wallace kemudian ditemukan gantung diri. Kisah Wallace menunjukkan manfaat pengobatan (dia bisa bekerja produktif selama 22 tahun) dan kompleksitas pengobatan pada pasien yang sangat kreatif.
Kesimpulan
Pengalaman pasien dengan kreatifitas, gejala, dan pengobatan memiliki banyak kemungkinan. Beberapa pasien senang karena gejalanya terkendali sehingga mereka bisa hidup dan membuat karya dengan optimal. Pasien lainnya bersifat ambivalen, menghubungkan kreatifitas dengan penyakitnya karena khayalan romantis atau pengamatan pribadi (misalnya pada kasus Nash). Padahal, walaupun kreatifitas dapat terkait dengan gejala psikiatri, pengobatan tetap bisa membantu memfasilitasi pekerjaan kreatif. Klinisi perlu menanyakan pandangan pasien tentang kreatifitas dan aktifitasnya, tetap mendasarkan pada bukti ilmiah namun mempertimbangkan kerumitan dari pendapat dan kepercayaan pasien. Hal ini dapat memberikan manfaat besar bagi kreatifitas pasien maupun klinisi.
Sumber: Artikel Psychiatric Times oleh dr Burns Woodward (Assistant Clinical Professor of Psychiatry, Boston University School of Medicine), 15 Juni 2018
http://www.psychiatrictimes.com/neuropsychiatry/creativity-and-psychiatric-illness-finding-sweet-spot?rememberme=1&elq_mid=1923&elq_cid=1695964
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!