Berita psikiatri: Olahraga dapat meningkatkan kondisi kesehatan jiwa
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai manfaat olahraga dalam mempengaruhi kesehatan jiwa. Namun data penelitian tidak konsisten dan sering kali bertentangan. Penelitian baru-baru ini telah menemukan bahwa individu yang berolahraga rutin memiliki kesehatan jiwa yang lebih baik dibandingkan orang yang tidak berolahraga.
Peneliti menganalisis data dari 1,2 juta subyek dewasa di Amerika Serikat menemukan bahwa individu yang berolahraga merasakan kondisi mental yang buruk pada bulan sebelumnya selama 1,5 hari lebih pendek dari subyek yang tidak aktif berolahraga (beban kesehatan jiwa 1,5 hari lebih pendek).
Dari berbagai aktifitas yang dianalisis pada penelitian, olahraga tim, bersepeda, aerobik, dan latihan di gym berkorelasi terbesar dengan penurunan lama merasakan kondisi mental yang buruk.
Menu latihan yang memiliki manfaat terbesar adalah bersepeda selama 45 menit 3-5 kali seminggu.
“Saya rasa untuk klinisi, penelitian ini kembali menekankan manfaat olahraga bagi kesehatan jiwa, sebagaimana juga kesehatan fisik,” kata peneliti utama Adam Chekroud, asisten profesor psikiatri Yale University, New Haven, Connecticut, dan ilmuwan utama dalam kelompok “Spring Health”, sebagaimana disampaikan pada tim Medscape Medical News.
“Untuk sistem kesehatan yang lebih besar dan perusahaan penyedia layanan psikiatri seperti Spring Health, penelitian ini sangat penting karena dapat membantu kami memahami bahwa olahraga mungkin merupakan faktor penting yang dapat dimodifikasi untuk membantu memperbaiki beban kesehatan jiwa, tanpa memperhatikan umur, jenis kelamin, latar belakang sosioekonomi, atau kondisi kesehatan fisik,” dia menambahkan.
Penelitian ini dipublikasikan online pada 8 Agustus di Lancet Psychiatry.
“Olahraga berkorelasi dengan beberapa manfaat kesehatan, namun penelitian efek olahraga pada kesehatan jiwa memiliki hasil yang tidak konsisten,” tulis Adam Chekroud dan timnya.
Penulis menduga bahwa kemungkinan penyebab dari hasil penelitian yang bervariasi adalah penggunaan sampel pada penelitian lain yang kecil dan tidak mewakili populasi.
“Saya tahu bahwa secara pribadi, saya merasakan hubungan kuat antara perasaan saya dengan seberapa sering saya keluar mengendarai sepeda,” kata Chekroud.
“Dari sudut pandang akademis, kita tahu bahwa olahraga memiliki berbagai bentuk manfaat fisik, dan dari sudut pandang organisasi kesehatan jiwa kami, Spring Health, kami mengetahui banyak orang yang merasa tidak siap atau tidak nyaman memulai terapi untuk masalah kejiwaan, dan biasanya mereka ingin mencoba pilihan yang bisa dilakukan sendiri terlebih dahulu,” lanjutnya.
“Saya pernah melihat penelitian dengan skala lebih kecil di masa lalu yang menunjukkan bahwa olahraga adalah antidepresan yang efektif, dan saya ingin meninjau lebih jauh dan mencoba benar-benar memahami olahraga apa yang paling bermanfaat, dan berapa lama atau berapa sering saya perlu melakukannya — Informasi semacam itu tidak terlalu populer di literatur,” katanya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menganalisis data dari Behavioral Risk Factor Surveillance System survey yang didapatkan dari penelitian oleh the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dengan partisipan berusia 18 tahun atau lebih dari 50 negara bagian. Survey dilaksanakan antara 2011 sampai 2015.
Partisipan diminta menjawab beberapa pertanyaan, termasuk ‘apakah mereka pernah didiagnosa dengan depresi atau episode depresi’, ‘Berapa hari selama sebulan terakhir mereka merasa kesehatan jiwanya kurang’, ‘apakah mereka berolahraga di bulan terakhir’, dan ‘apa jenis olahraga yang paling sering mereka kerjakan’.
Partisipan juga melaporkan berapa kali mereka berolahraga dalam seminggu dan berapa jam atau menit mereka biasa berolahraga.
Variabel yang juga dianalisis meliputi umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendapatan, status pendidikan, status pekerjaan, body mass index, kesehatan fisik (self-report), dan diagnosis depresi sebelumnya.
Lebih banyak tidak selalu lebih baik
Sampel terakhir meliputi 1.237.194 peserta. rata-rata beban kesehatan jiwa akibat kondisi psikologis yang buruk pada bulan terakhir adalah 3,36 hari (SD 7,7; median 0; IQR, 0 – 2).
Analisis dari 852.068 individu setelah dilakukan matching (73.6% berolahraga) menemukan bahwa olahraga berasosiasi dengan 1,49 hari (43.2%) lebih sedikit beban kesehatan jiwa per bulan (W = 7,42×10^10, P < 2,2×10^-16) untuk individu yang berolahraga dibandingkan individu yang tidak berolahraga.
Peneliti mengulangi analisis secara spesifik untuk menilai individu dengan atau tanpa diagnosis depresi sebelumnya dan menemukan bahwa efek ini lebih kuat pada individu dengan riwayat depresi sebelumnya.
Hubungan antara olahraga dan beban kesehatan jiwa ditemukan pada semua umur, kedua gender, semua ras, dan tingkat pendapatan.
Semua jenis olahraga berkorelasi dengan penurunan beban kesehatan jiwa (penurunan minimal 11.8%, P < 2.2×10^-16 untuk semua jenis olahraga), dibandingkan dengan subyek yang tidak berolahraga.
Namun, terdapat perbedaan terkait jenis olahraga. Hubungan terkuat dengan penurunan beban kesehatan jiwa ditemukan pada beberapa olahraga populer, yaitu bersepeda, aerobik, dan latihan di gym (22.3%, 21.6%, dan 20.1% lebih rendah dibanding yang tidak berolahraga).
Bahkan melakukan tugas rumah sehari-hari berasosiasi dengan penurunan ≥9.7% jumlah hari dengan kondisi mental buruk (sekitar 0,4 hari per bulan).
Analisis post hoc lebih jauh menemukan bahwa olahraga yang menggunakan prinsip mindfulness, seperti yoga dan taichi, berasosiasi dengan penurunan beban kesehatan jiwa yang lebih besar dibandingkan tidak berolahraga (22,9%), berjalan kaki (17,4%), atau olahraga lain (17,8%).
Setelah dilakukan penyesuaian untuk berbagai variabel tersebut, peneliti menemukan bahwa olahraga selama 30-60 menit (dengan efek terbesar pada sekitar 45 menit) berasosiasi dengan beban kesehatan jiwa yang terendah.
Pola durasi optimal ini cukup konsisten terlepas dari jenis olahraga. Penurunan beban kesehatan jiwa yang lebih rendah justru teramati pada individu yang berolahraga lebih dari 90 menit.
Berolahraga selama lebih dari 3 jam justru berasosiasi dengan beban kesehatan jiwa yang lebih buruk dibandingkan individu yang berolahraga selama 45 menit atau tidak berolahraga sama sekali.
Subyek yang berolahraga 3-5 kali seminggu memiliki beban kesehatan jiwa lebih rendah dari mereka yang berolahraga kurang dari 3 kali seminggu atau lebih dari 5 kali.
“Saya rasa saya cukup terkejut akan temuan tersebut,” komentar Chekroud.
“Temuan ini cukup memberikan semangat karena bahkan olahraga yang lebih mudah terjangkau berkorelasi dengan kondisi kesehatan jiwa yang lebih baik — hal-hal sederhana seperti berjalan kaki tiga kali seminggu.”
Dia menekankan bahwa hal ini penting karena penelitian sebelumnya lebih memfokuskan pada olahraga dengan tuntutan tinggi, seperti latihan beban, yang tergolong sulit didapatkan oleh sebagian besar populasi.
“Yang juga mengejutkan adalah bahwa konsep lebih banyak olahraga lebih baik tidak terbukti — Bahkan. subyek yang berolahraga selama durasi lama atau lebih dari 22 kali per bulan justru memiliki jumlah hari merasakan kesehatan jiwa yang buruk yang lebih banyak dibandingkan subyek yang tidak berolahraga,” dia menambahkan berdasarkan hasil observasinya.
Penelitian dengan subyek terbesar sejauh ini
Gary Cooney, MBChB, MRCPsych, residen pendidikan konsultan psikiatri di Gartnavel Royal Hospital, Glasgow, Inggris, ikut mengomentari penelitian ini kepada tim Medscape Medical News. Gary Cooney tidak ikut terlibat dalam penelitian tersebut. Menurutnya, berdasarkan pengetahuannya, ini adalah penelitian terbesar yang menganalisa hubungan kesehatan dan olahraga/aktifitas fisik.
“Sumbangan terbesar dari penelitian ini pada bidang psikiatri adalah dengan menggarisbawahi pentingnya masalah olahraga dan diharapkan dapat mendorong penelitian lain yang lebih spesifik tentang jenis-jenis olahraga dan hubungannya dengan outcome gangguan jiwa tertentu,” kata Cooney.
Namun, dia menyampaikan bahwa dirinya masih ragu-ragu untuk “Membuat kesimpulan praktis untuk praktek klinis berdasarkan penelitian ini” karena dirinya merasakan keraguan tentang pendekatan metode yang digunakan.
Keraguan yang dia sampaikan dalam editorial, meliputi pendekatan peneliti dalam “menggabungkan semua gangguan jiwa ke dalam satu kategori”, padahal penulis juga “mengulang-ulang penjelasan tentang hubungan studi ini dengan depresi”, sehingga seolah-olah “membuat kesetaraan yang kurang pas bahwa gangguan jiwa dan depresi adalah istilah yang mudah dipertukarkan.”
Cooney juga menyampaikan kekhawatiran bahwa self-report dan definisi olahraga yang digunakan kurang reliabel (karena peneliti juga memasukkan sekumpulan aktifitas yang tidak memenuhi kriteria sebagai olahraga oleh the American College of Sports Medicine).
Referensi:
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!