Berita Psikiatri: Pengalaman Residen Psikiatri Amerika Serikat Selama Pandemi

Artikel asli: https://www.medscape.com/viewarticle/932957 oleh Jeffrey A. Lieberman, MD pada 26/6/2020

Jeffrey A. Lieberman, MD: “Halo, saya dr Jeffrey Lieberman dari Universitas Columbia, berbicara dalam program Medscape. Semua hal saat ini sepertinya berfokus pada pandemi COVID-19 yang sudah terjadi selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Hari ini kami ingin berbagi dengan pendengar mengenai pengalaman residen psikiatri di sini, di Manhattan utara, area yang tidak hanya merupakan epicenter dari pandemi ini tetapi juga merupakan lokasi yang mendapat efek terberat.”

“Untuk itu, kita akan mendengarkan sudut pandang calon psikiater yang diterjunkan di berbagai layanan saat peningkatan dan puncak  epidemi. Saya sudah meminta tiga residen kami — dr Nina Gao, residen tahun pertama; dr Meredith Senter, residen tahun keempat; dan dr Alana Mendelsohn, residen tahun ketiga — yang sudah bekerja keras di garis depan untuk berbagi sebagian pengalamannya dengan kita. Untungnya, karena epidemi di New York sudah mulai terkendali, di mana kasus memuncak dan kemudian menurun (artikel ini ditulis pada 26-6/2020 – red), walaupun belum berakhir, kita mulai bisa berkontak dengan mereka. Pertama-tama, saya perkenalkan dr Nina Gao untuk berbagi pengalaman.”

Nina Gao, MD: “Saya sedang stase neurologi di bulan Maret dan kami diminta tidak memakai masker sama sekali karena kami diminta menghemat APD. Kami juga dianggap tidak akan mendapat pasien Covid, tapi ternyata ada. Hasilnya, kami menjadi carrier dan menyebarkan virus dari kamar ke kamar. Hal ini terkonfirmasi dari tes. Dan kemudian kami harus melihat pasien-pasien, yang seharusnya hanya tinggal menunggu dipulangkan, ternyata mulai memburuk. Kemudian kami harus mengisolasi ruangannya untuk mengendalikan infeksi.”

“Saya kemudian bertugas di stase UGD pada bulan April. Pada saat ini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa terjadi pandemi. Kami mendapatkan pasien yang mengantri di selasar UGD, walaupun itu bukan hal yang baru. Yang berbeda adalah bahwa banyak di antara mereka yang mengantri sedang dalam kondisi tidak stabil. Mereka diberi aliran maksimal non-rebreathing mask, yang artinya tangki oksigennya harus diganti setiap 20 menit. Ada malam-malam di mana saya hanya mondar-mandir mengganti tangki oksigen. Mereka tidak dapat akses oksigen yang terpasang di tembok, karena banyak pasien yang terintubasi dan masih menunggu bed untuk dibawa naik ke lantai atas.”

“Periode pekerjaan keras ini diperburuk perasaan bersalah dan kesedihan bagi penyedia layanan, terutama setelah shift malam UGD. Saya biasa mendapat panggilan di telepon pribadi sepanjang hari dari keluarga yang mencari ayahnya, ibunya, istrinya, dan saudaranya. Seringkali nama saya adalah nama terakhir yang tertulis di rekam medis sebagai penanggungjawab, karena jumlah perpindahan pasien yang terlalu banyak dan datanya belum diubah, padahal saya sudah 2 hari tidak melihat pasien tersebut.”

“Ada juga dampak dari sejumlah kematian. Ada banyak pasien meninggal di UGD maupun di bangsal. Sering kali, saya masuk shift jam 6 pagi langsung melakukan pemeriksaan kematian padahal pasien tersebut tidak pernah saya temui, biasanya pasien tersebut masuk ranap atau pindah ke bangsal kami di shift sebelumnya.”

“Meninggal di rumah sakit selama pandemi adalah sesuatu yang tidak saya inginkan terjadi pada siapapun. Sangat mengerikan rasanya sendirian, dengan ventilator, dan tidak memiliki akses ke keluarga atau teman. Pasti mengerikan untuk banyak keluarga, dan saya ikut bersedih bagi mereka yang kehilangan orang tersayang dengan cara ini.”

“Walaupun begitu, saya rasa banyak dari kami ingin menyampaikan betapa kami juga merasakan dukungan komunitas di belakang kami. Hal ini dirasakan sejak awal, melalui donasi APD dan membawakan makanan pada shift-shift jaga, tapi terutama saat kami mendengar respon yang lembut walaupun kami sedang memberikan berita sangat buruk lewat telepon,”

“Salah satu contoh adalah saat saya sedang jaga ICU, saya harus menelepon seorang wanita dan menyampaikan bahwa ayahnya memburuk napasnya karena pneumonia terkait pemakaian ventilator dan memerlukan trakeostomi. Pada akhir pembicaraan, dia berkata: ‘Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bekerja di rumah sakit saat ini, keluarga kalian pasti sangat khawatir.’ Ada juga rekan yang menyampaikan bahwa dia menelepon keluarga pasien untuk memberitahu bahwa pasien sudah meninggal, tetapi keluarga merespon dengan mengirimkan pizza ke unit tersebut.”

“Saya rasa penting untuk menekankan bahwa pada saat di mana banyak demonstrasi ini, setidaknya di New York, terdapat banyak rasa sakit, duka, dan kehilangan di komunitas kita, seringkali dari berbagai masalah sekaligus. Saya rasa protes ini, dalam sudut pandang tertentu, mungkin merupakan cara mengeluarkan rasa sakit ke luar, yang sebenarnya rasa sakit itu sangat, sangat besar. Saya harap ada kesempatan bagi kami untuk memperhatikan kebijakan publik dan mengaplikasikan ilmu psikiatri, baik sekarang maupun di masa depan.

Gangguan Jiwa tetap Ada

Jeffrey Lieberman: “Di saat beberapa orang di psikiatri diperbantukan untuk mendukung ICU dan UGD, kami tetap harus merawat pasien psikiatri pada masa-masa ini dan juga di UGD. Untuk berdiskusi tentang pengalaman tersebut, di sini ada dr Meredith Senter (Residen tahun 4).”

Meredith Senter, MD: “Terima kasih untuk kesempatannya, dr Lieberman. Dan Nina, terima kasih telah berbagi pengalaman dan pemikiran. Saya sangat mengapresiasi hal tersebut.”

“Saya akan berfokus pada pengalaman menjadi residen pada comprehensive psychiatric emergency program (CPEP), tetapi saya juga akan menyampaikan terkait apa yang kita lihat berubah terkait kesehatan jiwa populasi. Saya rasa penting untuk menyadari apa yang akan terjadi sebagai konsekuensi pandemi.”

“Pengalaman terkait CPEP cukup menarik. Saya sempat mendapatkan shift jaga malam selama seminggu di awal Maret, dan terdapat penurunan signifikan jumlah kasus. Terasa aneh dan menakutkan berada di sana semalaman dan hanya dua atau tiga pasien yang datang. Itu sangat tidak biasa. Biasanya ada tujuh atau delapan pasien. Kami merasa bahwa orang-orang menghindari UGD. Sebagaimana kita tahu, mereka menghindari UGD karena takut dengan Covid. Kami khawatir.  Kami penasaran kemana para pasien ini dan apa yang bisa disimpulkan terkait kemampuan mereka untuk bertahan.”

“Saat saya kembali 6 minggu kemudian, berbagai hal telah berubah. Kami melihat berbagai tampakan gejala di UGD. Jika kita membayangkan sudut pandang pasien gangguan jiwa berat kronis, banyak di antara mereka berhenti berobat 1-2 bulan, sehingga datang ke UGD dalam kondisi sangat psikotik atau sangat manik. Penyedia layanan psikiatri di komunitas telah melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan. Populasi rentan ini mungkin juga tidak memiliki akses untuk pengobatan jarak jauh karena mereka tidak memiliki internet. Kami melihat semakin banyak orang yang datang dalam kondisi memburuk karena tidak memiliki akses.”

“Sebagai tambahan, kami juga melihat pasien yang baru pertama kali ke layanan psikiatri atau setidaknya pertama kali datang ke UGD karena masalah jiwa. Ada orang-orang yang mengalami kondisi krisis karena pandemi. Mereka bahkan bisa terpikir untuk bunuh diri karena berbagai alasan terkait Covid19: misalnya kehilangan pekerjaan. Salah satu kisah yang saya ingat adalah tentang seseorang yang awalnya bekerja di konstruksi dan tiba-tiba tidak ada lagi pekerjaan. Orang ini melakukan tindakan bunuh diri tetapi untungnya bisa dibawa ke UGD.”

“Ada banyak orang dalam kondisi demikian yang datang dan kami rawat. Ada juga orang yang datang setelah terjadinya sejumlah kematian di keluarga mereka. Mereka mungkin awalnya tinggal dengan beberapa anggota keluarga yang kemudian meninggal, dan mereka tidak tahu harus apa dan bagaimana melanjutkan hidup. Cerita-cerita menyedihkan seperti ini benar-benar seperti menjungkirbalikkan kondisi kehidupan seseorang.”

“Terdapat pula masalah terkait pekerja di garis depan yang merasa khawatir menulari orang-orang tersayang, dan di beberapa kasus, memang benar-benar menulari orang yang disayangi. Salah satu kasus yang diceritakan sejawat saya adalah tentang seseorang yang merasa bertanggung jawab akan kematian pasangannya. Orang ini bekerja di garis depan sedangkan pasangannya bekerja dari rumah (WFH). Pada dasarnya, paparan yang mungkin terjadi adalah dari pasangannya. Kemudian, pekerja dari rumah ini sakit dan meninggal karena Covid19. Rasa bersalah yang terjadi sangat luar biasa, dan muncul pikiran untuk mengakhiri hidup. Tentu saja, kita semua akan mengatakan bahwa hal ini bukanlah salahnya, dia sudah melakukan tindakan pencegahan, dan dia tetap harus pergi bekerja. Meskipun begitu, hal ini tetap membebani orang tersebut.”

“Cerita-cerita ini hanyalah contoh dari sejumlah dampak psikiatri yang mulai kita lihat, dan saya rasa kita akan melihat lebih banyak lagi.

Bertumpu pada ICU

Jeffrey Lieberman: “Semua residen tentunya memiliki pengalaman unik yang tidak dimiliki dokter baru. Kita tidak akan membahas apakah itu keberuntungan atau kemalangan, tapi kalian pasti belajar banyak dari situ.”

“Alana, sebagai salah satu residen senior, apa contoh pengalaman seperti ini bagi anda?”

Alana Mendelsohn, MD: “Salah satu hal yang menarik sebagai residen atas adalah bahwa kita berfungsi sebagai pekerja garis depan pada krisis ini dalam berbagai kapasitas. Saya dan rekan saya di tahun ketiga telah bekerja di ICU bersama residen baru seperti Nina. Kami juga pernah bekerja di UGD psikiatri bersama Meredith. Dan kami juga pernah di rumah memeriksa pasien poli dari jarak jauh (telepsikiatri).”

“Saya rasa sudut pandang yang berbeda dari banyak penyedia layanan kesehatan jiwa yang lebih senior dari kami, yang lebih terspesialisasi dalam tugas klinik, atau karena mereka bukan lagi residen, adalah bekerja di luar kapasitas rumah sakit. Kami seolah bisa melihat dari jarak jauh gambaran besar pandemi yang banyak orang belum dapat melihatnya.”

“Melihat balik ke pengalaman saya beberapa bulan terakhir, saya adalah salah satu dari residen yang ditugaskan kembali dari tingkat atas ke ICU. Seminggu kemudian saya memeriksa pasien di poli, dan pada akhir minggu di UGD. Jadi, saat pasien saya memberitahukan pengalamannya, saya membandingkan dengan jumlah dan tipe pasien yang dirawat karena kelainan medis dan pasien yang datang ke UGD.”

“Walaupun dari sudut pandang medis kami adalah penyedia layanan garis depan, saya merasa kami juga berada di garis depan psikologi pada krisis ini. Saya bisa melihat pada klinik kecil saya, yang tidak melibatkan banyak orang, gambaran miniatur dari krisis ini. Saya memiliki pasien yang kehilangan anggota keluarga karena Covid19, yang kehilangan pekerjaan, dan yang khawatir kehilangan rumah (karena masalah ekonomi – red). Saya memiliki pasien yang di rumah menghadapi masalah KDRT, pasien mahasiswa yang kehilangan rumah dan terpaksa pulang ke keluarganya, padahal keluarganya tidak selalu suportif. Saya memiliki pasien yang terpisah dari keluarga atau pasangannya dalam waktu lama karena peraturan social distancing.”

“Saya juga melihat kerentanan dan kekuatan dari pasien rawat jalan kami, dan saya menyaksikan itu dari minggu ke minggu. Di awal krisis, banyak pasien saya yang malah lebih bisa bertahan daripada kami sebagai penyedia layanan, karena mereka bekerja keras membangun kemampuan coping dan teknik mengelola stres. Mereka mungkin lebih siap dari banyak orang dalam menghadapi stressor awal akibat pandemi ini. Setelah beberapa minggu berjalan dan stressor bermunculan dalam berbagai cara, saya melihat pasien kami bereaksi dan menjalani krisis dalam cara-cara baru. Sebagai penyedia layanan, saya merasa cukup tercerahkan melihat bagaimana krisis berjalan dan bagaimana psikologi manusia berubah selama pandemi.”

“Salah satu hal yang unik tentang krisis ini adalah bahwa sifatnya universal namun juga unik di waktu bersamaan, dalam artian berbagai stressor yang dihadapi pasien juga dialami penyedia layanan kesehatan. Pasien kami menceritakan tentang harus berdiam di rumah, tidak bisa melihat keluarga, khawatir dengan keuangan, dan khawatir menulari keluarga. Kita juga mengkhawatirkan itu semua.”

Melihat ke depan
Jeffrey Lieberman: “Kondisi ini seperti tsunami yang menggempur semua rumah sakit. Orang-orang bertebaran mencoba melakukan yang terbaik yang mereka bisa. Tapi bagaimanapun, kita tidak mungkin siap.”

“Apa yang saya dengar dari kisah-kisah kalian adalah bahwa di satu sisi kalian berpikir bahwa ini kondisi tak terduga dan luar biasa, tapi di sisi lain kalian juga bertanya bagaimana melakukan yang terbaik dalam mengendalikan situasi.”

Nina Gao: “Saya rasa bagian yang sangat sulit secara emosional adalah ke luar dari shift. Dalam banyak hal, anda menjalankan skenario di mana anda berlari keliling mencoba menyelesaikan semuanya sekaligus, lalu tiba-tiba terasa tenang dan anda sendirian, anda mulai merasa bersalah karena banyak pasien meninggal lebih dari biasanya. Sejumlah besar pasien anda meninggal.”

“Anda tidak bisa menggunakan mekanisme coping biasanya, seperti bicara ke teman residen, ke luar dengan teman, atau bicara ke keluarga, yang tidak terlalu memahami apa yang terjadi di RS di New York. Jadi saya rasa kondisi isolasi pasca shift berakhir adalah perjuangan emosi bagi penyedia layanan.”

Jeffrey Lieberman: “Virus ini menyulitkan semua orang, tapi terutama berat bagi individu etnis tertentu, ras minoritas, dan kelompok sosioekonomi tertentu. Pada beberapa area di Manhattan utara, terdapat populasi yang terdampak sangat berat.”

“Meredith, saat anda memeriksa pasien, apakah terlihat ada dampak yang tidak seimbang pada karakteristik pasien tertentu? Atau mungkin pasien-pasien ini terdampak seperti orang-orang lain?”

Meredith Senter: “Tampak jelas bagi saya beberapa minggu lalu saat saya di ICU. Dari pasien yang saya rawat, mayoritas adalah ras dan etnis minoritas. Saya rasa itu cukup memberi kesan kuat. Saya tidak merawat sejumlah besar pasien, hanya daftar kecil. Tapi kami menyadari dan merasakan itu. Saya rasa kita semua tahu bahwa sebagai komunitas, kita perlu berlaku dengan lebih baik.”

Jeffrey Lieberman: “Hal ini bukan sesuatu yang kalian persiapkan untuk jalani saat menjalankan residensi di Columbia. Apa yang kalian rasakan baik selama pengalaman ini? Apa yang kalian pelajari tentang diri kalian masing-masing dalam situasi ini?”

Alana Mendelsohn: “Terkait bagaimana kami menghadapi ini, menghabiskan waktu untuk bicara merupakan hal yang sangat penting. Tetap berhubungan dengan pasien dan kolega adalah hal penting. Dan saya rasa menyimak sejarah juga adalah hal penting. Saya rasa orang-orang muda terutama mempunyai sudut pandang bahwa kita adalah orang pertama yang menghadapi hal seperti ini. Orang yang lebih tua dari kita telah menghadapi pengalaman yang sama. Saya banyak mendengar cerita dari pasien, dari teman-teman, dari keluarga, tentang ayah dan kakeknya yang mengalami trauma secara kolektif. Saya rasa ada banyak yang kita bisa pelajari dari pengalaman tersebut untuk membantu menginformasikan bagaimana kita menyembuhkan diri sebagai komunitas.”

“Tapi saya rasa hal terbesar di sini adalah membuang semua ekspektasi sebelumnya tentang karir dan peran kita sebagai dokter, dan memahami sekarang bahwa banyak hal dari kondisi ini di luar kendali kita dan itu dalam taraf tertentu adalah sesuatu yang boleh. Tapi kita juga perlu paham bahwa boleh juga untuk merasa sedih karenanya.”

“Saya rasa Kübler-Ross menekankan dengan indah bahwa proses berkabung datang dalam beberapa gelombang. Ada hari-hari di mana kita merasa bisa mengatasinya, tetapi ada hari-hari di mana kita merasa lepas kendali dan tak tertolong. Itu adalah bagian alami dari pengalaman ini.”

Jeffrey Lieberman: “Hal ini bukanlah sesuatu yang orang bisa ketahui dan persiapkan, tapi dengan mengasumsikan kita telah melewati kondisi terburuknya, setiap orang telah melaluinya, dengan bertindak sebaik-baiknya, dan mungkin dalam jangka panjang akan menjadi lebih baik. Seperti pepatah lama: ‘Yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat.’ Dan bagi saya terdengar bahwa masing-masing dari kalian telah melalui pengalaman penuh cobaan dan luar biasa.”

“Saya ingin berterima kasih, Nina, Meredith, dan Alana, untuk berbagi pengalaman dengan kami. Ini benar-benar mencerahkan. Kita jarang membicarakan ini dengan terang-terangan terkait apa yang kita jalani, jadi saya senang acara ini memberikan kesempatan untuk itu. Dan saya harap ini menarik bagi pendengar.”

“Saya Dr Jeffrey Lieberman dari Columbia University, terhubung dengan anda melalui Medscape.”

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.