Berita Psikiatri: Efek Neurobiologis Kafein

–Artikel asli oleh Sergi ferre, Cyril willson, dan John J Miller pada https://www.psychiatrictimes.com/cme/caffeine-neurobiological-and-psychiatric-implications —

Kafein merupakan zat yang tidak memerlukan pengenalan lagi karena zat ini merupakan zat psikotropik yang paling umum dikonsumsi di seluruh dunia. Biasanya, zat ini digunakan karena efek stimulan pada sistem saraf pusat. Seperti zat-zat lainnya yang ditemukan di alam, zat ini teekandung dalam berbagai spesies tanaman di Afrika, Asia timur, dan Amerika selatan. Fungsi kafein bagi tanaman tersebut sebenarnya adalah sebagai insektisida dan fungisida. Kafein dapat ditemukan padadaun, biji, dan/atau kacang-kacangan dari tanaman kopi, teh, dan kokoa.

Kafein merupakan bagian dari senyawa
methylated xanthine. Kelompok senyawa ini juga meliputi theophylline, theobromine, dan paraxanthine. Keempat senyawa ini memiliki struktur yang mirip, tetapi berbeda dalam penempatan metil pada struktur kimianya. Kafein memiliki tiga gugus metil, berbeda dari ketiga senyawa lainnya yang memiliki dua gugus metil. Keempat zat ini memiliki efek psikosimulan tetapi memiliki perbedaan pada efek fisiologis lain. Theophylline memiliki peran sebagai bronkodilator, sehingga digunakan pada pengobatan asma dan COPD. Theobromine memiliki efek diuresis yang cukup signifikan dan efek psikostimulan. Paraxanthine bukan zat yang terkandung secara alami pada tumbuhan, melainkan hasil metabolisme kafein yang paling umum pada manusia.

Bijih kopi diduga berasal dari Yaman, dan mengandung kafein. Catatan paling kuno yang menyebutkan tentang bijih kopi adalah catatan pada tahun 1450-an. Pada saat itu, pertapa sufi menggunakan minuman dari bijih kopi untuk membantu tetap terjaga selama bersembahyang. Daun teh mengandung terutama kafein, tetapi juga mengandung theophylline dan theobromine dalam konsentrasi bervariasi. Penggunaan teh sebagai minuman sudah tercatat dalam naskah kuno sejak tahun 3000 sebelum masehi. Daun teh pada saat itu terutama ditemukan di Asia timur. Sedangkan, bijih kokoa mengandung terutama theobromine, dengan sedikit kafein, dan tidak mengandung theophylline. Sisa bijih kokoa telah ditemukan pada periuk suku maya yang berasal dari tahun 600 sebelum Masehi, sehingga mungkin telah dikonsumsi sejak masa tersebut.

Sejak dahulu, mekanisme kerja kafein sebagai psikostimulan merupakan hal yang sulit diketahui pasti. Teori yang ada misalnya: peningkatan pelepasan kalsium; penghambatan enzim phosphodieterase yang mengakibatkan peningkatan cAMP; dan interaksi kafein dengan reseptor adenosin. Teori yang terakhir ini merupakan teori yang paling banyak dipercaya mengenai mekanisme kerja utama kafein sebagai psikostimulan.

Kafein memiliki struktur yang mirip dengan adenosine, sehingga dapat berfungsi sebagai antagonis kompetitif adenosine pada reseptor A1 dan A2 (A1R dan A2AR). Efek psikostimulan dari kafein dapat dipisahkan menjadi efek aktifasi psikomotor dan efek peningkatan arousal. Kedua efek farmakologis tersebut berhubungan dengan penggunaan kafein yang sangat luas. Peningkatan arousal berhubungan dengan efek kafein yang menekan adenosine terkait perannya pada homeostasis tidur. Kafein melawan efek mengantuk yang dimediasi adenosine pada kondisi bangun yang terlalu lama, terutama pada aktifitas reseptor A1R yang terkait dengan ascending arousal system. Sedangkan, peningkatan aktifitas psikomotor terjadi karena kerja kafein pada reseptor A2AR, yang secara tidak langsung mengendalikan transmisi pada jaras dopamin pada stria di otak.

Farmakokinetik Kafein

Setelah seseorang meminum minuman berkafein, biasanya terdapat rentang waktu 30 menit – 2 jam untuk mencapai konsentrasi maksimal. Karena kafein larut dalam lemak dan air, zat ini didistribusikan dengan cepat ke semua jaringan di seluruh tubuh. Kafein dapat melewati blood-brain barrier, sehingga dapat segera mencapai reseptor di otak.

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi metabolisme dan farmakokinetik kafein pada manusia. Rata-rata half-life kafein sekitar 2-6 jam. Kafein mengalami metabolisme oleh hepar secara first pass metabolism menggunakan enzim cytochrome P450 1A2 (CYP450 1A2). Kafein merupakan substrat dari enzim CYP450 1A2, tetapi juga memiliki efek inhibisi pada enzim ini.

Sifat ini memiliki dampak yang signifikan terkait bagaimana metabolisme kafein terpengaruh zat lain, dan bagaimana metabolisme zat lain terpengaruh kafein. Interaksi paling umum yang memiliki efek klinis adalah interaksinya dengan asap. Telah banyak dibuktikan bahwa asap dari sumber apapun (asap rokok, asap ganja, dan bahkan asap dari kebakaran hutan) meningkatkan enzim CYP450 1A2 di liver secara perlahan-lahan apabila terpajan asap selama dua minggu. Efek ini mengakibatkan peningkatan metabolisme kafein, sehingga diperlukan kafein dalam jumlah yang lebih besar untuk mencapai konsentrasi dalam darah yang setara dengan individu yang tidak merokok.

Di sisi lain, Obat hormonal estradiol menghambat metabolisme kafein. Akibatnya, pasien yang mengonsumsi estradiol secara rutin membutuhkan lebih sedikit kafein untuk mencapai konsentrasi yang sama dengan orang yang tidak mengonsumsi estradiol. Selama kehamilan, yang merupakan kondisi dengan konsentrasi estradiol darah yang tinggi, half-life dari kafein dapat mencapai 15 jam pada trimester ketiga.

Obat SSRI fluvoxamine, yang digunakan untuk mengatasi gangguan obsesif kompulsif, juga mempengaruhi metabolisme kafein. Fluvoxamine merupakan inhibitor poten CYP450 1A2 dan dapat meningkatkan half-life kafein sampai 10 kali lipat.

Di sisi lain, kafein dapat meningkatkan konsentrasi beberapa obat dalam darah, sehingga dapat mempengaruhi efek klinis. Sebagai inhibitor sedang dari enzim CYP450 1A2, kafein meningkatkan konsentrasi clozapine dan warfarin. Menangani pasien yang mengonsumsi clozapine dan zat lain merupakan hal yang sulit karena rokok menurunkan konsentrasi clozapine, sedangkan kafein meningkatkan konsentrasi clozapine.

Modulasi neurotransmisi dopamin dan glutamat pada stria yang dependen Adenosin

Aktifasi psikomotor adalah efek farmakologis mayor dari psikostimulan dan secara klasik terkait dengan aktifasi perilaku sebagai respon dari stimuli spesifik, dan terutama pada stimuli terkait reward (reward, conditioned reward, atau stimuli yang memberi sinyal terkait kedekatan dengan sumber reward). Psikostimulan sendiri berfungsi sebagai stimulus reward dan penguat reward, sehingga psikostimulan memicu usaha dan pendekatan untuk mendapatkan zat tersebut.

Sifat psikostimulan ini sama dengan sifat dopamin di otak dan terutama pada striatum, yang merupakan area dengan inervasi dopamin dan reseptor dopamin tertinggi. Maka aktifasi sistem dopaminergik pusat sangat terkait dengan peningkatan respon terhadap stimuli terkait reward, sehingga meningkatkan respon mengenali dan mendekati stimuli, dan perilaku terkait reward. akibatnya, dopamin terkait langsung dengan pembelajaran terkait stimulus-reward dan respon terhadap reward yang terjadi setelah penerimaan reward.

Asosiasi stimulus dengan reward menyebabkan stimuli mendapatkan sifat diskriminatif yang menggambarkan adanya reward yang dekat atau bahkan mendapatkan sifat sebagai reward itu sendiri (conditioned rewarding stimuli), sehingga dapat memancing timbulnya perilaku. Pelabelan dengan asosiasi reward-response menyebabkan positive reinforcement, yaitu pembelajaran terkait urutan respon dan aksi yang optimal yang menyebabkan reward.

Sel dopamin meningkatkan aktifitasnya dengan adanya stimulus yang memprediksi adanya reward (discriminative/conditioned reward stimuli) dan saat reward yang didapat lebih dari yang diharapkan (positive reward prediction error), di mana terdapat peningkatan secara phasic dopamin pada striatum. Peningkatan ini mengaktifasi reseptor dopamin excitatory D1 (D1R) dan reseptor dopamin inhibitory D2 (D2R), yang memiliki afinitas dopamon rendah dan tinggi. D1R dan D2R memiliki lokasi yang berbeda di striatum dan mempengaruhi keseimbangan output “Go” (excitatory) dan “No Go” (inhibitory) pada eferen striatum.

Aktifasi dan inhibisi menyebabkan inisiasi dan pembelajaran perilaku dengan positive reinforcement (perilaku mendekati stimuli). Tetapi sel-sel dopaminergik juga menerima sinyal terkait aversive stimuli (stimulus yang terkait dengan sesuatu yang ingin dihindari) dan meningkatkan aktifitas dengan umpan balik yang memprediksi keberhasilan dalam menghindari stimulus). Maka, terdapat pula efek inisiasi dan pembelajaran perilaku secara negative reinforcement.

Di sisi lain, aversive stimuli (atau petunjuk yang memprediksi bahwa aversive stimuli tidak dapat dihindari) mengakibatkan inhibisi aktifitas sel dopaminergik, yang menyebabkan hilangnya aktifasi tonik dari reseptor afinitas tinggi D2R oleh dopamin endogen. Akibatnya, terjadi disinhibisi sehingga terdapat peningkatan aktifitas (karena hilangnya inhibisi oleh D2R) dari output neuron yang bersifat “No Go”, yang diwakili oleh neuron striatopallidum dan mengakibatkan perilaku membeku/mundur/melarikan diri.

Psikostimulan klasik, seperti kokain, metilphenydate, dan amfetamin, mengaktifasi sistem dopaminergik dengan meningkatkan konsentrasi dopamin ekstraseluler. Berkebalikan dengan itu, kafein mempotensiasi efek dopamin dengan menghambat neurotransmisi adenin. Penghambatan reseptor A1R dan A2AR di striatum oleh kafein melepaskan “pengereman” oleh adenosin endogen terhadap aktifasi dopamin. Hal ini terkait dengan interaksi molekul dan modulasi inhibitory pada redeptor dopamin. Peran paling penting dalam modulasi neurotransmisi dopamin dipegang oleh reseptor A2AR postsinaptik.

Neuron striatopallidum mengekspresikan junlah besar reseptor D2R ean A2AR. Data penelitian menunjukkan bahwa A2AR di striatum merupakan reseptor utama yabg menyebabkan efek aktifasi dan efek reward dari kafein (review oleh Ferré (2016)). Terdapat interaksi molekuler dab interaksi fungsional yang signifikan antara A2AR dan D2R pada neuron striatopallidum yang membentuk heteromer A2AR-D2R (heteromer adalah kompleks reseptor yang terdiri dari minimal 2 reseptor berbeda).A2AR juga terdapat dalam jumlah kecil pada reseptor presinaptik pada terminal glutamat neuron corticostria. Di sini, A2AR membentuk heteromer dengan A1R.

Penelitian terbaru telah menemukan struktur molekuler mendetail dan fungsi heteromer A2AR-D2R dan A1-A2A. Heteromer tersebut bersifat heterotetramer (dengan homodimer dari A2AR dan D2R atau homodimer dari A2AR dan A1R) dan membentuk bagian dari “pre-coupled signaling complexes” besar yang melibatkan G protein cognate dan efektor adenylil cyclase. Heteromer A2AR-D2R berfungsi sebagai alat molekuler terintegrasi yang menyebabkan interaksi antagonistik timbal balik antara dopamin dan adenosin serta memfasilitasi pergantian antara aktifasi oleh A2AR versus inhibisi D2R pada neuron striatopallidum. Di sisi lain, dapat terjadi kerjasama keduanya misalnya saat aktifasi A2AR meningkatkan aktifitas neuron striatopallidum dan perilaku menghindar/lari/membeku yang diinduksi inhibisi oleh D2R pada paparan stimuli terkait hukuman. Kafein atau antagonis A2AR memblok efek ini dan mempotensiasi efek dopamin endogen pada proses inhibisi saraf oleh D2R. Hal ini meningkatkan aktifitas psikomotor karena inhibisi perilaku membeku/menghindar/melarikan diri.

Heteromer A1R-A2R pada stria merupakan alat molekuler untuk mengatur transmisi glutamat. Konsentrasi rendah adenosin mengaktifasi A1R, yang menghambat pelepasan glutamat. Sedangkan, konsentrasi tinggi mengaktifkan juga A2AR, yang ikut mengaktifkan A2AR, dengan efek sebaliknya. Karena terdapat dominansi dari aktifasi tonik A1 presinaptik dibandingkan A2AR, kafein berefek terutama pada A1R presinaptik dan memicu fasilitasi transmisi glutamat di stria. Hal ini secara lokal meningkatkan pelepasan dopamin dari terminal dopamin striatum, sehingga meningkatkan efek potensiasi postsinaptik transmisi dopamin yang dimediasi heteromer A2AR-D2R pada neuron striatopallidum.

Modulasi neurotransmisi glutamat di amigdala oleh adenosin

Striatum bukanlah satu-satunya tempat berkumpulnya A1R dan A2R di otak; adenosin juga mengontrol neurotransmisi glutamat di area lain di otak, misalnya amigdala, melalui reseptor A1R presinaptik dan A2AR postsinapstik yang terkumpul di sana (walaupun A2AR jauh lebih rendah jumlahnya dari di striatum). Amigdala adalah komponen penting dari aversive conditioning Pavlov (fear conditioning). Data aversive stimuli, baik yang terkondisikan maupun yang belum, akan dikumpulkan pada nukleus lateral, di mana berbagai proses seluler akan mengubahnya menjadi aversive stimuli yang terkondisi (stimuli yang telah dipelajari responnya).

Nukleus central amigdala adalah output mayor dari amigdala. Sebagai contoh, proyeksi saraf dari nukleus central ke periaqueductral gray terkait dengan respon membeku akibat conditioned stimuli. Informasi dari nukleus lateral ke sentral disampaikan oleh nukleus basal dan kumpulan intercalated cell. Pengendalian adenosin terhadap transmisi glutamat pada nukleus piramidal pada nukleus basal amigdala diduga memegang peranan terpenting dalam hal ini. Inhibisi oleh A1R atau aktifasi oleh A2AR terhadap sel piramidal nukleus basal akan mempengaruhi penurunan atau peningkatan fear conditioning.

Efek yang berkebalikan dari antagonis A1R dan A2AR juga telah terbukti dari penelitian, dengan antagonis A1R mendukung fear conditioning, sedangkan antagonis A2AR mengurangi fear conditioning. Maka, modulasi glutamat oleh adenosin merepresentasikan mekanisme potensial dari efek kafein pada kecemasan.

Kafein dan efeknya pada kecemasan

Gangguan kecemasan adalah hal yang umum pada bidang psikiatri, dan kecemasan juga adalah gejala yang umum dari berbagai masalah kejiwaan lain. Secara umum, telah diketahui bahwa dosis kecil kafein bersifat anxiolitik sedangkan dosis tinggi bersifat anxiogenik (memicu kecemasan), terutama pada individu yang rentan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa blokade akibat polimorfisme gen A2AR (yang telah diketahui berdasarkan data “linkage disequilibrium“) yang berasosiasi dengan peningkatan ekspresi A2AR di otak, meningkatkan predisposisi gangguan panik dan meningkatkan efek anxiogenik kafein. Berdasarkan peran A1R dan A2AR di amigdala pada fear conditioning, penghambatan pada A1R, dan bukan A2AR, seharusnya mengakibatkan efek anxiogenik, sehingga terjadi kesulitan dalam menjelaskan efek polimorfisme gen terhadap kecemasan dan kecemasan akibat kafein. Peran A2AR yang terletak di bagian posterior dan medial dari ventral striatum dengan efeknya pada penghilangan rasa takut (supresi dari fear conditioning) mungkin dapat menjelaskan kontradiksi tersebut.

Berbeda dari neuron dopaminergik umumnya yang berespon dengan penurunan aktifitas jika diberikan stimulus terkait hukuman atau aversive stimulus, populasi tertentu sel dopaminergik justru meningkatkan aktifitasnya. Pada tikus, subpopulasi ini sebagian besar berada pada bagian medial dan posterior Ventral tegmental area (VTA), yang memberikan proyeksi saraf ke bagian posterior-medial dari ventral stria (bagian posterior-medial Nukleus Accumbens (NAc)). Bagian ini juga dipersarafi oleh korteks infralimbik tikus, yang merupakan bagian yang setara dengan korteks cingulatum anterior (ACC) pada manusia.

Korteks infralimbik mempersarafi bagian posterior-medial dari VTA dan shell dari NAc yang saling terhubung, amigdala, dan korteks insularis. Sirkuit saraf ini memegang peranan penting dalam penghilangan rasa takut. Secara khusus, input amigdala dari korteks infralimbik berkorespondensi dengan sel-sel intercalated. Sel-sel ini kemudian terhubung dengan neuron-neuron inhibitory GABAergik yang juga dipersarafi dari neuron piramidal nukleus basal. Aktifasi saraf-saraf tersebut menyebabkan penghambatan respon fear conditioning dan mengakibatkan penghilangan rasa takut. Berdasarkan LeDoux et al., pembelanjaran untuk aktifitas menghindari stimuli memerlukan supresi dari fear conditioning. Sistem ini menyediakan mekanisme tambahan yang penting di mana dopamin memicu negative reinforcement selama pembentukan perilaku menghindar – yaitu perubahan dari “rasa takut” menjadi “perilaku menuju keselamatan.”

Walaupun masih berupa spekulasi, efek anxiolitik dari dosis rendah kafein mungkin dimediasi blokade A2AR postsinaptik pada striatum (pada A2AR-D2R heteromer) dan A1R presinaptik (pada A1R-A2AR heteromer) pada posterior medial dari shell NAc, dengan efek yang mungkin dapat menghilangkan rasa takut. Pada peningkatan dosis kafein atau peningkatan ekspresi A2AR, misalnya pada polimorfisme gen A2AR, hambatan dari A2AR presinaptik pada stria (heterodimer A1R-A2AR) akan meningkatkan kecemasan.

Kesimpulan

Kafein adalah zat psikotropik alami yang telah digunakan manusia untuk efek psikostimulannya selama ribuan tahun. Zat ini legal dan tidak memerlukan regulasi, terdapat di semua budaya, dan digunakan oleh semua usia. walaupun ditemukan secara alami pada bijih kopi, daun teh, dan biji kokoa, kafein telah ditambahkan ke berbagai minuman untuk efek psikostimulannya.

Kafein juga digunakan pada berbagai obat bebas untuk mengobati berbagai gejala, dari sakit kepala sampai rasa mengantuk. Di samping itu, kafein memiliki efek fisiologis yang luas terus menerus ditemukan dan dikategorikan. Terdapat sejumlah penelitian yang mendukung adanya efek kafein sebagai psikostimulan akibat efek antagonis non-kompetitif reseptor adenosin, dan juga karena kemampuannya berinteraksi dengan reseptor dopamin.

Masih diperlukan banyak penelitian, terutama terkait dengan efeknya pada kejiwaan. Masih diperlukan studi klinis yang terutama mengevaluasi peran kafein dan antagonisme A2AR pada individu dengan kecemasan. Untuk memastikan efek terapeutik vs dosis anxiogenik, penelitian perlu mengendalikan faktor perancu berupa A2AR polimorfisme dan juga polimorfisme gen CYP450 1A2, yang menentukan perbedaan farmakokinetik kafein antar individu.

Meskipun begitu, masih akan ditemukan gambaran yang belum lengkap karena berbagai faktor endogen dan eksogen, seperti umur, jenis kelamin, hormon, makanan, rokok, paparan pada obat dan zat yang berinteraksi dengan kafein. Yang semakin memperrumit analisis adalah ditemukannya efek psikomotor dari paraxanthine, yang merupakan hasil metabolisme kafein pada manusia, yang dapat menghambat enzim cGMP-preferring phosphodiesterase.

Referensi:
1. https://www.psychiatrictimes.com/cme/caffeine-neurobiological-and-psychiatric-implications

2. Weinberg BA, Bealer BK. The World of Caffeine: The Science and Culture of the World’s Most Popular Drug. New York, London: Routledge; 2001.

3. Nehlig A. Interindividual differences in caffeine metabolism and factors driving caffeine consumption. Pharmacol Rev. 2018;70:384-411.

4. Cozza KL, Armstrong SC, Oesterheld JR. Concise Guide to Drug Interaction Principles for Medical Practice: Cytochrome P450s, IGTs, P-Glycoproteins, 2nd ed. Washington, DC; American Psychiatric Publishing; 2003.

5. Ferré S. Mechanisms of the psychostimulant effects of caffeine: implications for substance use disorders. Psychopharmacol. 2016;233:1963-1979.

6. Ferré S, Bonaventura J, Zhu W, et al. Essential control of the function of the striatopallidal neuron by pre-coupled complexes of adenosine A(2A)-dopamine D(2) receptor heterotetramers and adenylyl cyclase. Front Pharmacol. 2018;9:243.

7. Navarro G, Cordomí A, Casadó-Anguera V, et al. Evidence for functional pre-coupled complexes of receptor heteromers and adenylyl cyclase. Nat Commun. 2018;9:1242.

8. Navarro G, Cordomí A, Brugarolas M, et al. Cross-communication between G(i) and G(s) in a G-protein-coupled receptor heterotetramer guided by a receptor C-terminal domain. BMC Biol. 2018;16:24.

9. Rau AR, Ariwodola OJ, Weiner JL. Presynaptic adenosine A1 receptors modulate excitatory transmission in the rat basolateral amygdala. Neuropharmacol. 2014;77:465-74.

10. Rau AR, Ariwodola OJ, Weiner JL. Postsynaptic adenosine A2A receptors modulate intrinsic excitability of pyramidal cells in the rat basolateral amygdala. Int J Neuropsychopharmacol. 2015;18:1-13.

11. Simões AP, Machado NJ, Gonçalves N, et al. Adenosine A(2A) Receptors in the amygdala control synaptic plasticity and contextual fear memory. Neuropsychopharmacol. 2016;41:2862-2871.

12. Shinohara M, Saitoh M, Nishizawa D, et al. ADORA2A polymorphism predisposes children to encephalopathy with febrile status epilepticus. Neurology. 2013;80:1571-1576.

13. Hamilton SP, Slager SL, De Leon AB, et al. Evidence for genetic linkage between a polymorphism in the adenosine 2A receptor and panic disorder. Neuropsychopharmacol. 2004;29:558-565.

14. Childs E, Hohoff C, Deckert J, et al. Association between ADORA2A and DRD2 polymorphisms and caffeine-induced anxiety. Neuropsychopharmacol. 2008;33:2791-2800.

15. Quiroz C, Orrú M, Rea W, et al. Local control of extracellular dopamine levels in the medial nucleus accumbens by a glutamatergic projection from the infralimbic cortex. J Neurosci. 2016;36:851-859.

16. Lammel S, Lim BK, Ran C, et al. Input-specific control of reward and aversion in the ventral tegmental area. Nature. 2012;491:212-217.

17. LeDoux JE, Moscarello J, Sears R, et al. The birth, death and resurrection of avoidance: a reconceptualization of a troubled paradigm. Mol Psychiatry. 2017;22:24-36.

18. Orrú M, Guitart X, Karcz-Kubicha M, et al. Psychostimulant pharmacological profile of paraxanthine, the main metabolite of caffeine in humans. Neuropharmacol. 2013;67:476-484.

19. Schiffmann SN, Fisone G, Moresco R, et al. Adenosine A2A receptors and basal ganglia physiology. Prog Neurobiol. 2007;83:277-292. ❒

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.