Imunitas Kepribadian, Faktor Penting Cegah Bunuh Diri
FK-UGM. Seorang pemuda tahanan lapas Tangerang terjun bebas dari menara setinggi 25 meter, tak memiliki pekerjaan pun pria asal Palembang nekat gantung diri. Bahkan, ada juga remaja belasan tahun gantung diri di sebuah pabrik kerupuk. Seorang kakek pun nekat terjun bebas dari lantai 18 karena menderita TBC yang tak kunjung sembuh. Rangkaian kasus bunuh diri tergenapi dengan adanya kasus bunuh diri kakak beradik di apartemen Gateway Kota Bandung. Sesudahnya, di wilayah Jawa barat ini, sedikitnya ada dua kasus serupa terjadi berurutan dalam sepekan. Yakni di Sukabumi dengan kasus pria gantung diri karena tersangkut kasus kriminal dan satu lagi seorang pria meloncat dari atas jembatan Pasupati Kota Bandung yang diduga karena persoalan asmara.
Berbagai kasus bunuh diri memang telah mewarnai pemberitaan media massa akhir-akhir ini. Data menunjukkan bahwa angka bunuh diri di Indonesia menempati urutan ke-114 di dunia (per 100.000 populasi). Di tingkat global, data WHO tahun 2016 menunjukkan bahwa pada tahun 2012 terdapat lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahun akibat bunuh diri. Bunuh diri juga menjadi penyebab utama kedua kematian pada usia 15-29 tahun. Bahkan, sekitar 75 persen kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Cara umum yang digunakan untuk bunuh diri diantaranya adalah menelan pestisida, gantung diri dan menggunakan senjata api.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa problem patologi dan krisis sosial telah mendorong banyak bentuk gangguan dan patologi individual termasuk bunuh diri. Setiap orang mempunyai risiko ini. Tentu, fenomena bunuh diri tidak bisa hanya bisa dibaca melalui sudut pandang seragam apalagi stigmatik. Setiap fenomena tentu mempunyai banyak relasi pengaruh yang sulit untuk digeneralisir. Masing-masing faktor saling bertautan. Bahwa memang ada kecenderungan yang bisa menjadi gejala umum itu bisa jadi karena adanya faktor dominan yang bekerja.
Pengalaman atau situasi yang penuh dengan tekanan (stressor) masing-masing orang tentu berbeda dan dipengaruhi juga dengan kematangan berpikir. Pada dasarnya, tidak ada yang tahu secara pasti penyebab bunuh diri. Hanya saja, faktor risiko ini bisa diantisipasi. Dalam situasi ini imunitas kepribadian menjadi poin penting untuk mencegah bunuh diri.
“Imunitas kepribadian perlu dibentuk sejak dini agar generasi muda tahan banting. Kelekatan orang tua terhadap anak pada masa periode emas pertumbuhan anak (0-18 bulan) harus baik, sehingga dalam pertumbuhannya, ketahanan anak terhadap stressor juga baik,” papar ahli psikologi klinis, Dr. Dra. Sumarni, MSi., Selasa (22/8) dalam acara talkshow “Fenomena Bunuh Diri: Aspek Psikiatri dan Psikologi”, di ruang teater gedung Perpustakaan Fakultas Kedokteran UGM.
Dokter ahli kedokteran jiwa, Dr.dr. Carla Raymondalexas Marchira, Sp.KJ (K)., juga memaparkan berbagai faktor risiko bunuh diri seperti menganggur, perceraian, korban bulliying, terisolasi, mendapatkan pelecehan seksual, konflik, riwayat mutilasi sampai dengan faktor genetik orang tua depresi. Melihat faktor risiko tersebut, Carla menambahkan ada berbagai cara untuk mengenali pribadi yang rentan bunuh diri. “Mudah tersinggung, bingung, menurunnya minat dalam keseharian, sulit mengambil keputusan, perilaku menyakiti diri, mengalami kesulitan hubungan dengan pasangan hidup atau anggota keluarga lain, menjadi sangat fanatik terhadap agama ataupun malah menjadi atheis, bisa menjadi gejala awal,” sebutnya.
Saat mengalami gangguan tersebut, seseorang harus segera mendapatkan pertolongan dengan konseling ataupun bercerita dengan teman terdekat bahkan mendapat bantuan psikolog. “Hanya saja, kebijaksanaan diperlukan saat seseorang dipercaya untuk menjadi konselor, dalam artian bisa dipercaya dan mampu menyimpan rahasia,” imbuh Carla. (Wiwin/IRO; Foto: Aryo)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!